Rabu, 28 Januari 2009

mediacare - 2 new articles

 

Your email updates, powered by FeedBlitz

 
Here are the latest updates for 26maret902@gmail.com

"mediacare" - 2 new articles

  1. Kasus gratifikasi KPPU: Prematur dilimpahkan ke pengadilan
  2. Menyimak sidang kasus dugaan suap Billy - Iqbal
  3. More Recent Articles
  4. Search mediacare

Kasus gratifikasi KPPU: Prematur dilimpahkan ke pengadilan

Kasus gratifikasi KPPU: Prematur dilimpahkan ke pengadilan

Pengamat hukum Prof Andi Hamzah menilai kasus dugaan gratifikasi kepada komisioner KPPU M. Iqbal oleh mantan Presdir PT First Media Billy Sindoro, masih terlalu prematur untuk dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.

"Masih banyak hal yang harus dibuktikan lagi oleh jaksa dalam tuntutannya pada kasus itu," katanya saat dihubungi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Guru Besar Hukum Pidana Usakti itu mencontohkan apakah jaksa bisa membuktikan telah ada pembicaraan sebelumnya antara Iqbal dengan Billy terkait besaran suap yang akan diberikan Billy tersebut.

Demikian pula dengan keberadaan tas berisi uang tunai senilai Rp500 juta yang selanjutnya dijadikan barang bukti penyuapan, menurut Andi Hamzah, juga masih simpang siur statusnya.

"Iqbal sendiri mengatakan bahwa dia tidak tahu apa isi tas itu, apakah uang, buku, burung, atau apa," ujarnya.

Seharusnya, menurut Andi, petugas KPK membiarkan beberapa saat Iqbal dengan tas itu sehingga ada kesempatan ia membuka tas dan mengetahui terlebih dahulu apa isinya dan kemudian baru dilakukan penangkapan.

Sebelumnya dalam persidangan Tipikor, Iqbal mengungkapkan bahwa Billy Sindoro akan menyampaikan terima kasih kepadanya namun dia tidak pernah menyebutkan soal uang maupun janji dan rencana memberikan sesuatu kepada komisioner KPPU.

Iqbal dan Billy tertangkap tangan oleh KPK di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu dan Iqbal tengah memegang tas hitam berisi uang Rp500 juta, yang diduga diterimanya dari Billy. Soal tas itu, Iqbal berdalih bahwa ia berencana melaporkannya ke pimpinan KPPU.

Pada sesi persidangan lainnya, saksi pengacara Hotman Paris Hutapea mengaku bahwa Billy Sindoro telah meminta Hotman menjadi kuasa hukumnya dan dia pun telah membawa uang senilai Rp500 juta sebagai uang muka atau "down payment" untuk itu. Sejumlah saksi lainnya juga mengungkapkan hal yang sama.

Dengan adanya berbagai ketidak jelasan itu, menurut Andi Hamzah, jaksa masih perlu mengorek berbagai keterangan lanjutan dari saksi-saksi yang ada demi menguatkan bukti telah terjadi penyuapan.

Selain itu, katanya lagi, jaksa juga perlu meminta keterangan dari komisioner KPPU lainnya tentang seberapa besar peran Iqbal dalam setiap pengambilan keputusan di institusi itu, khususnya yang terkait dengan dugaan monopoli PT Direct Vision, yang menaungi Astro, atas penayangan Liga Inggris.

Dengan demikian, ia menambahkan, kasus tersebut masih terlalu cepat dibawa ke pengadilan karena jaksa seharusnya mencari bukti-bukti yang lebih menguatkan lagi untuk menyusun dakwaannya.

(Andreas Bimo)

Neraca - 28 January 09, Halaman 12



Menyimak sidang kasus dugaan suap Billy - Iqbal

Menyimak sidang kasus dugaan suap Billy - Iqbal

Oleh: Prof Dr Andi Hamzah


Pada Senin (19/1) saya menonton sidang di Pengadilan Tipikor Jalan Rasuna Said Kuningan Jakarta karena ingin melihat kawan saya, Dr Adriawan Dg Tawang (dosen Universitas Trisakti) yang memberikan keterangan sebagai Ahli Hukum Pidana atau biasa disebut Penalis.

Penalis adalah seorang sarjana hukum yang mengkhususkan diri memperdalam pengetahuannya mengenai hukum pidana. Penalis adalah doktor hukum pidana dan/atau guru besar hukum pidana dan/atau dosen senior hukum pidana dan menulis buku hukum pidana.

Dalam kasus dugaan korupsi penyuapan terhadap Ketua KPPU Muhammad Iqbal yang diajukan oleh Billy Sindoro dan penasehat hukumnya terjadinya dwaling (kekeliruan) penyerahan tas dari Billy kepada Iqbal, karena dikira tas itu kepunyaan Iqbal.

Ini merupakan alibi yang dengan sendirinya harus dibuktikan sebaliknya oleh penuntut umum dengan alat bukti yang ada bahwa memang Billy sengaja memberikan tas yang ternyata isinya sesudah dibuka oleh petugas KPK berisi uang Rp 500 juta rupiah. Yang berarti juga, harus dibuktikan bahwa Billy memang telah menjanjikan memberikan uang sebesar itu kepada Iqbal, apakah berdasarkan keterangan dari Billy dan Iqbal.

Atau, dengan alat bukti lain seperti surat atau ada saksi mendengar bahwa Billy memang telah menjanjikan memberikan uang sebesar itu karena mengetahui bahwa Iqbal telah berbuat sesuai dengan keinginan Billy (Pasal 5 ayat 1b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi / UUPTPK) atau Billy mengetahui bahwa pemberian yang itu dimaksudkan karena Iqbal mempunyai kedudukan yang melekat padanya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara anggota KPPU (Pasal 13 UUPTPK).


Dua alat bukti

Masalah paling sulit dibuktikan ialah bagaimana jika ternyata Iqbal, setelah membuka tas di rumahnya atau di tempat lain, menolak untuk menerima dan mengembalikan kepada Billy atau dia melaporkan gratifikasi itu kepada KPK?

Jika dia berbuat demikian, dengan sendirinya dia tak akan dapat dipidana. Akan tetapi hal itu tidak terjadi karena dia tidak diberikan kesempatan melihat isi tas untuk memilih; menerima, menolak, atau melaporkan kepada KPK.

Dengan demikian ada kekeliruan prosedur. Semestinya petugas KPK jangan menangkap Iqbal dulu, melainkan membiarkan dia membawa tas ke rumahnya. Setelah dia buka dan tidak mengembalikan kepada Billy, baru ditangkap. Seseorang yang menerima gratifikasi setelah melihat benar bahwa itu adalah uang dan mengembalikan kepada si pemberi, tidak terjadi tindak pidana penyuapan. Begitu pula jika dia melaporkan kepada KPK dalam tempo satu bulan.

Pengalaman saya sebagai jaksa, pada tahun 1963, pernah seorang ibu yang suaminya sementara ditahan oleh kejaksaan bertamu di rumah saya di Manado dan bercerita bahwa anak buah saya salah tangkap dan menahan suaminya. Saya menerangkan bahwa saya akan pelajari kasusnya esok hari dan jika dia melakukan hanya penganiayaan ringan tentu akan dilepaskan besok dari tahanan. Sewaktu dia minta diri pulang, dia meletakkan bungkusan di atas meja tamu. Setelah dia pergi, saya membuka bungkusan itu yang ternyata isinya uang 500 ribu rupiah. Jumlah yang sangat besar kala itu.

Saya saat itu masih kos dan minta ibu kos saya membawa uang itu ke rumah ibu itu naik dokar dan mengembalikan kepadanya. Andaikata waktu itu sudah ada KPK, dan tiba-tiba masuk ke rumah kos saya, kemudian membuka bungkusan sebelum saya membukanya, saya akan celaka.

Alibi yang dikemukakan dalam kasus KPPU itu bertambah kuat dengan keterangan saksi advokat Hotman Paris yang mengatakan bahwa memang pernah dihubungi untuk diminta menjadi penasihat hukum oleh Billy. Billy menerangkan bahwa uang sebesar 500 juta rupiah itu sedianya untuk fee Hotman Paris.

Jadi, hal ini merupakan masalah pembuktian dan harus ada dua alat bukti ditambah keyakinan hakim. Hakim juga harus yakin bahwa benar-benar tidak ada kekeliruan pemberian tas yang didukung dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Jika tidak, berarti terjadi kekeliruan.


Penulis adalah Ketua Tim Penyusun UU PTPK No. 31/1999 dan Konseptor UU No. 20/2001

Investor Daily - 27 January 09, Halaman 4


Email to a friendRelated


More Recent Articles



Click here to safely unsubscribe now from "mediacare" or change subscription settings

 
Unsubscribe from all current and future newsletters powered by FeedBlitz
Your requested content delivery powered by FeedBlitz, LLC, 9 Thoreau Way, Sudbury, MA 01776, USA. +1.978.776.9498

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar